- Kepala Sekolah SDN 019 Kampung Dagang Apresiasi Keberhasilan Siswa dalam Pidacil
- LAMR Inhil Gelar Syukuran dan Buka Puasa Bersama Menyambut Gubernur Riau
- Polsek Pelangiran Tingkatkan Kamtibmas Selama Ramadhan dengan Pengamanan Ibadah
- Buka Puasa dan Bagi Takjil Bersama PSHT Kotogasib, IPSI, JMSI, dan Satlantas Polres Siak
- Berjalan Sangat Baik Tanpa Sengketa, Pemkab Apresiasi Pilkada 2024
- Polres Kep Meranti Gelar Jumat Curhat Bersama Para Buruh Kapal Jelatik Di Bulan Ramadhan
- Banjir Terus Meluas di Inhu, Bupati Inhu Janjikan Solusi dan Rencana Perbaikan Infrastruktur
- Bupati Kuansing Serahkan Tanah Hibah dan Bangunan Koramil Inuman kepada Danrem 031/Wira Bima
- Videotron Percantik Wajah Kota Bagansiapiapi, Warga Bangga dengan Nuansa Modern
- Polda Riau Gelar Rapat Forum LLAJ 2025 untuk Pastikan Kesiapan Operasi Ketupat Lancang Kuning 2025
PCNO, Pengabdian dan Kisruh Organisasi
Catatan: Luzi Diamanda Penerima PCNO 2025 dari Riau
2.jpg)
Luzi Diamanda
Pekanbaru, VokalOnline.Com - "Menjadi wartawan bukan soal pekerjaan, tapi soal sikap hidup, tentang keberpihakan yang jelas, pada kemerdekaan, keadilan dan kebenaran." (Diamanda)
Saya lebih sering lupa berapa puluh tahun sudah mengabdi dengan kata, mengukir kisah, meninggalkan tapak jejak, sebagai Jurnalis, ketika tiba-tiba pada tanggal 9 Februari malam masuk pesan via WA.
"Selamat untuk pengabdian 41 tahun Nuk. Selamat untuk kesetiaan pada identitas, menjadi jurnalis yang keberpihakannya jelas."
Saya tertegun, 41 tahun sudah? Dan ada yang mengingatnya dengan pasti. Secepat itukah waktu? Secepat itukah tulisan berjalan? Ah, berarti saya yang sudah tua.
Pesan WA itu datang ketika baru saja saya menerima Sertifikat, Kartu dan Pin PCNO di Banjarmasin. Pesan yang bermakna dua arah.
PCNO hanya sekedar penghormatan untuk jumlah waktu pengabdian sebagai wartawan atau PCNO untuk kesetiaan, integritas dan pilihan tanpa jeda, pilihan tetap menjadi Jurnalis di tengah gempuran profesi lain yang lebih menggiurkan.
Karena banyak Jurnalis yang beralih profesi, baik sementara atau selamanya. Menjadi politikus, PNS, pengusaha. Ada yang benar-benar meninggalkan dunia kewartawanan ada yang bolak balik, bahkan ada yang menduakan profesi.
Tentu saya tidak mau memberi nilai pada yang mendua, karena ternyata kehebatan dan kemakmuran di profesi lain tetap ingin bertahan sebagai wartawan.
Saya kembali ingat pesan WA tadi, tentu dari orang yang sangat dekat, satu-satunya yang memanggil saya dengan sebutan Nuk, jika hanya sekedar waktu tentu sangat gampang dapat PCNO. Cukup mengabdi 25 tahun sudah cukup untuk meraih sebutan bergengsi itu.
Tapi tidak. Syaratnya cukup banyak jika tidak boleh dibilang berat, selain mengabdi dalam kurun waktu panjang, tidak boleh terputus juga ada syarat lain, punya karya dalam bentuk buku, atau pernah menulis buku. Tentu tidak semua wartawan bisa menulis buku.
Jika ada yang masih belum 20 tahun jadi wartawan tanpa ada karya buku atau keluar masuk sebagai wartawan ternyata dapat PCNO juga, tentu saya tidak mengerti dimana salahnya, jika itu memang terjadi. Tentu saya berharap itu tidak terjadi.
Setelah pesan manis via WA yang mengingatkan waktu pengabdian saya sebagai jurnalis, ada pula pesan lain masuk dan itu baru saja. Pesan itu berbunyi: "Bagaimana jika PCNO itu dicabut jika PWI versi lain yang menang?"
Memang saya peduli? Tidak. Karena yang kisruh organisasi bukan profesi. Saya dengan PCNO atau tanpa PCNO tetap seorang jurnalis, yang juga seorang penulis. Saya berpihak pada profesi.
Organisasi adalah ibarat payung bagi anggotanya, panas atau hujan jadi tempat berteduh. Jika saat menjalankan profesi terjadi sesuatu, karena profesi jurnalis juga rentan mengalami kekerasan, dibully hingga dianiaya, itulah saatnya organisasi diperlukan, tampil membela, di luar sebagai tempat bersilaturahmi para anggota.
Sebagai anggota PWI saya juga tidak mau terlibat caci maki, membunuh karakter hingga ancam mengancam, karena saya lebih suka menunggu proses hukum berjalan, proses organisasi berjalan dan kebenaran akan datang pada waktunya.
Bukan sekali ini PWI kisruh. Zaman reformasi juga terbelah, ada PWI ada PWI Reformasi. Tapi waktu berpihak pada PWI dan PWI Reformasi mati dengan sendirinya.
Apakah saya tidak berpihak? Pasti ya berpihak. Saya berpihak pada ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Saya berpihak pada ketentuan tertulis yang disahkan oleh negara, karena semua organisasi mesti memiliki legitimasi dari negara.
Dan malam ini saya pandangi lagi kartu PCNO dan juga Kartu PWI. Jika saya sudah 41 tahun jadi jurnalis berarti selama itu pula saya sudah jadi anggota PWI. Jika tiba-tiba kebanggaan saya hilang itu hanyalah untuk organisasi, bukan profesi.
Saya telah memilih jalan ini untuk pengabdian dan akan tetap di jalan ini, bahkan andai pun tiba-tiba benar PCNO dan Kartu PWI itu harus tinggal kenangan, saya tetap seorang jurnalis. Itulah pengabdian dan profesi. Selalu dan selamanya.**/Luzi Diamanda
Berita Terkait :
